Skill Bermusik Saya Nol Besar

entah memang tidak berbakat atau apa, tapi saya terlahir tanpa sedikit pun bakat bermusik. setiap melihat seseorang memainkan musik dan mendengar dentum ritme musik serta alunan nan menggoda telinga, tergugah niat di dalam hati sana, untuk segera memulai berlatih memainkan musik. apa saja. Apa saja yang bisa menghasilkan nada.

tapi semua hanya segelintir wacana. salah satu wacana dari sejuta wacana-wacana yang gagal terlaksana. menyedihkan.

kadang di malam hari kakak saya memainkan gitarnya. memetik senarnya dengan penuh penghayatan, dan menghasilkan nada yang luar biasa di telinga saya, dan menyejukkan di perut saya (?)
kakak memainkan musik apa pun. dari yang lembut mendayu-dayu, soundtrack spongebob, sampai yang bernada rumit tidak jelas.
menemani kakak bermain gitar, adik saya menggenggam sepasang stick drum dan menggebuk-gebuk dengan mantap. ya, adik saya seorang drummer. walaupun belum begitu ahli, tetapi dia cukup ahli (?)
karena tidak ada drum set di rumah, adik saya memukul apa saja yang bisa dipukul.

tapi itu cukup membuat saya sedih karena tidak mempunyai skill bermusik. ketika mereka seru-seruan di posisinya masing-masing, saya hanya bisa bergabung dengan mereka, menyumbangkan suara saya yang  sangat pas-pasan. saking pasnya sampai kekecilan (?) dan ketika mereka pergi ke studio musik untuk ngeband, saya hanya bisa nggalau di rumah.


eh, ehm, saya bisa memainkan satu alat musik. seruling. dan satu lagu. Suwe Ora Jamu. saya bisa memainkannya karena terpaksa, untuk ujian praktek di Sekolah dasar lima tahun lalu. kalau tidak, saya terancam menetap setahun di sekolah dasar sampai bisa memainkan Suwe Ora Jamu

saat ini, saya sedang melongo di depan layar laptop, mengagumi kelincahan dan keahlian Jun Sung Ahn dalam memainkan violinnya. Kalau Syahrini bilang, ctaar membahana badaai.

Ahn adalah seorang Amerika-Korea, yang sekarang menetap di Amerika, dan memperoleh ketenaran lewat video yang diuploadnya di youtube. sosoknya yang kocak dan bersahaja memang menyegarkan mata *.* tidak jarang, Ahn ikut menari sambil memainkan violinnya, seperti di lagu 'Oppa Gangnam Style' yang dimainkannya dengan violin *yaiyalaah

semua videonya memang membuat saya melongo. salah satunya video ini, ketika dia memainkan Canon Rock. di video ini, Ahn terlihat lebih serius. mari simak~


bagaimana?

selain Abang Ahn, ada juga pemusik hebat dari korea, Sungha Jung. laki-laki 16 tahun ini adalah seorang gitaris. dia sudah mulai bermain gitar sejak di dalam kandungan ibunya. *alaaayy

banyak lagu yang sudah dimainkan Sungha Jung. salah satunya, Canon Rock juga.  ini videonya:


mereka berdua memang keren. tidak sedikit yang menggabungkan kedua video mereka di atas, sehingga hasilnya akan seperti ini:


itu tadi idola-idola baru saya. mereka yang membuat saya sedih lagi karena tidak mempunyai skill musik sekeren mereka.

tapi toh saya punya skill di bidang lain. #emangiya? #amacak? *garuktembokgigitjari*



ini hadiah buat penggemarnya abang ahn. bilang apaaa??





Kunci Bahagia?

Aku sedang memandangi layar laptop yang berpendar menyilaukan. menyakitkan mata dengan brightness dan contrast yang berlebihan dan belum kuatur. malas, biasalah penyakit yang terlihat, namun susah diperangi dan dihilangkan.

berulang kali aku mengeluh. mengeluhkan serentetan hariku yang panjang. mengeluh karena tadi pagi harus buru-buru mengejar waktu. dan bus kota yang tak kunjung lewat. padahal di hari biasa, bus-bus kuning kecil dan bau itu bersliweran tak lebih sedikit tiap sepuluh kedipan mata. lalu aku mengeluh lagi. mengeluh karena merasa sepatu biru-oranyeku yang mencolok akan merusak hari berupacara di sekolah.

sepulang dari sekolah, mama menjemput, lalu mengajakku mampir di rumah makan tak jauh dari sekolah. dan, ya. aku mengeluh. lagi. mengeluhkan menu pesananku yang lama dan mbak-mbak pelayan yang jalannya nyiput.

dan aku menyadari satu hal yang seharusnya sejak lama kusadari. wajahku kusut dan jelek.

dan aku tidak bahagia hari ini.

begitu juga kemarin dan dua hari yang lalu. aku tidak bahagia.

aku tidak pernah bahagia. tidak peduli apa yang kudapatkan dan apa yang kulakukan, aku akan mengeluh. padahal jika mungkin tadi pagi bus-bus kuning lewat setiap detik, aku akan tetap mengeluh ketika sampai di sekolah dan menjumpai gerbang sekolah yang masih tergantung gembok. jika aku datang dengan sepatu hitamku, mungkin aku akan mengeluh lagi tentang talinya yang mudah copot.

dan jika mbak -mbaknya tidak lambat, aku akan tetap mengeluh karena makanan datang cepat sekali, dan perutku yang masih terlalu kenyang untuk menerima asupan makanan lagi.

lalu aku menyadari, hal kecil yang menjadi kunci pintu menuju kebahagiaan. mungkin penggunaan kata 'kunci kebahagiaan' terlalu alay. tapi memang hal kecil ini yang membuatku bahagia setelah aku menyadarinya. semudah itu membuat diriku sendiri bahagia ...

dan hal kecil yang membuatku lebih bahagia adalah menahan keluhan, dan berusaha untuk mensyukuri semuanya. ya, semuanya.

karena sesungguhnya jauuuuh lebih banyak hal yang bisa kita syukuri daripada yang bisa kita keluhkan.

Alhamdulillaaah~

setelah sedikit membuka mata dan berusaha menyadari kemelimpahan nikmat-Nya, rasanya tidak susah untuk merubah sehari penuh bencana menjadi sehari penuh berkah.

"if the only prayer you said was thank you, that would be enough"
-Meister Eckhart




[resensi] The God of Small Things - Yang Maha Kecil



The God of Small Things by Arundhati Roy, bercerita tentang negara komunis Kerala, India dan cinta terlarang antara dua kasta, yang mengubah kehidupan setiap orang. The God of Small Things adalah novel pertama Arundhati Roy, pemenang Booker Prize pada tahun 1997.  Sebuah kisah cinta menarik yang terjadi di negara komunis bagian Kerala, India dan diceritakan melalui mata “”two-egg twins” Estha dan Rahel. Ibu mereka baru saja bercerai, Ammu, membawa pulang anak-anaknya ke desa Ayemenem di Kerala dimana dia tidak disambut hangat oleh keluarganya. Estha dan Rahel belajar dengan cepat bahwa “hal-hal dapat berubah dalam satu hari” dan bahwa “apa pun bisa terjadi pada siapa saja.”
Novel ini mendapatkan tanggapan dan kritik yang beragam. Menurut Melani Budianta, “yang membuat novel ini disanjung para kritikus adalah strukturnya yang sangat rumit dan apik, gaya bahasa yang liris, sarat simile dan metafor, alusi dan permainan kata yang lincah, penuh humor sekaligus menggigit (dari The God of Small Things – Yang Maha Kecil, YOI, 2002). Tetapi tak sedikit yang mengecamnya dan menyatakan bahwa novel ini adalah “buku sampah yang tak layak untuk dibaca.”
Suzanna Arundhati Roy lahir pada 24 November 1961 di Kerala, Bengali, putra dari pasangan Hindu dan Kristen. Tetapi Roy tak bisa banyak bicara tentang ayahnya karena “aku tak mengenalnya sama sekali. Aku hanya melihatnya beberapa kali saja.” Arundhati Roy menghabiskan masa kecilnya di Aymanam. Di sana, sang ibu, Mary Roy, mengelola sekolah yang diberi nama Corpus Christi tempat Arundhati Roy mengembangkan kemampuan sastra dan intelektualnya tanpa dibatasi oleh aturan-aturan pendidikan formal. Roy sempat meninggalkan rumahnya pada usia 16 dan mencari nafkah dengan menjual botol bir kosong dan tinggal di kawasan kumuh. Roy masuk ke Delhi School of Architecture dan menikah dengan Gerard Da Cunha, temannya kuliahnya, tetapi hanya bertahan empat tahun. Dia kemudian bekerja di National Institute of Urban Affairs. Dia pulang-pergi kerja naik sepeda yang dia sewa 2 Rupee per harinya. Ketika sutradara film Pradeep Krishen melihatnya mengayuh sepeda di jalanan, dia menawarinya peran kecil dalam Massey Saab, dan Roy menerimanya. Roy juga menerima beasiswa ke Italia untuk mempelajari restorasi monumen selama delapan bulan. Di Italia inilah dia mulai menyadari bakatnya sebagai penulis Roy bekerjasama dengan Krishen (yang kemudian menjadi suaminya) merancang 26 episode epik televisi untuk Doordarshan dengan judul The Banyan Three; sayangnya serial ini hanya berlangsung empat episode. Pada 1992 Roy menulis naskah Electric Moonuntuk Channel 4, tetapi tak sukses. Tulisan berikutnya menimbulkan kontroversi karena dia mengecam film terkenal, “Bandit Queen,” kisah nyata tentang Phoolan Devi, yang disutradarai oleh Shekar Kapur. Arundhati Roy menuduh film itu mengeksploitasi sosok Phoolan Devi dengan cara vulgar. Kasus itu sampai ke pengadilan. Setelah kehebohan ini Arundhati Roy menarik diri ke kehidupan pribadi untuk menulis, dan akhirnya lahirlah The God of Small Things (1997).
Ketika ditanya tentang buku itu, Roy mengatakan,“Buku itu adalah buku yang sangat sedih, dan kadang kesedihannya tetap bersama diriku. Aku membutuhkan waktu lima tahun untuk menulisnya… banyak orang bertanya apakah buku ini otobiografi? Ini adalah pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab sebab kupikir semua fiksi tidak lahir dari pengalaman anda, tetapi juga dari percampuran imajinasi dengan pengalaman anda. Yang nyata dalam buku itu adalah tekstur emosional dan perasaannya.”
“Buku itu adalah buku yang sangat sedih, dan kadang kesedihannya tetap bersama diriku. Aku membutuhkan waktu lima tahun untuk menulisnya… banyak orang bertanya apakah buku ini otobiografi? Ini adalah pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab sebab kupikir semua fiksi tidak lahir dari pengalaman anda, tetapi juga dari percampuran imajinasi dengan pengalaman anda. Yang nyata dalam buku itu adalah tekstur emosional dan perasaannya.”
The God of Small Things disajikan dengan alur melingkar, diawali dengan cerita kilas balik 23 tahun setelah kejadian utama berlalu, melalui penuturan orang ketiga. Bab demi bab berselang-seling antara dua titik waktu yang dipisahkan selama 23 tahun tersebut. Secara bergantian yang dipakai adalah perspektif Rahel dewasa dan Rahel kecil. Dalam pengungkapannya Roy menggunakan bahasa dan unsur lokal yang sering tampil seperti main-main, misalnya dengan penggunaan huruf-huruf besar di luar aturan tata bahasa Inggris, permainan bunyi, penciptaan gabungan kata sifat yang tak lazim dan sebagainya. Bagi Arundhati Roy, “Bahasa adalah sesuatu yang sangat refleksif bagiku. Aku tak tahu aturan-aturannya, jadi aku tak tahu apakah aku telah melanggar aturan-aturan itu.”
Kutipan di dibawah ini adalah salah satu bagian paling mengesankan buat saya ketika membaca novel peraih Booker Prize tahun 1997 tersebut. Saya mendapat gambaran bahwa manusia bisa sampai pada titik yang demikian memprihatinkan dalam hal menghinakan manusia lainnya. Saya terkesan dalam ranah keheranan yang bahkan tidak bisa saya pahami:
Semasa kecil, Velutha selalu datang bersama Vellya Paapen ke Rumah Ayamenem melalui pintu belakang untuk mengirim buah-buah kelapa yang mereka petik di halaman. Pappachi tidak akan mengizinkan ayah dan anak itu masuk rumah. Tak seorang pun mengizinkan. Mereka tidak diperkenankan menyentuh segala sesuatu yang disentuh kaum Touchable. Kasta Hindu dan Kasta Kristiani. Kepada Estha dan Rahel, Mammachi pernah berkata ia ingat suatu waktu semasa gadisnya, ketika kaum Paravan diminta merangkak mundur memegang sapu untuk membersihkan tapak kaki mereka sehingga kasta Brahma dan Kristen Siria tidak perlu harus mengotorkan diri dengan menginjak bekas kaki Paravan. Pada masa Mammachi, kaum Paravan, seperti juga kaum Untouchable lainnya, tidak diperkenankan berjalan di jalanan umum. Mereka dilarang menutupi bagian atas tubuhnya dan tidak diperkenankan membawa payung. Mereka diwajibkan menutup mulut dengan tangan ketika sedang bicara untuk mengenyahkan polusi nafas mereka dari lawan bicara [Dikutip -dengan sejumlah koreksi tanda baca- dari The God of Small Things: Yang Maha Kecil karya Arundhati Roy, diterjemahkan oleh A. Rahartati Bambang Haryo]
GOD of small things


repost from: rosesmerah.com

Cari di sini~

 

Labels

gak jelas (34) galeri (27) ayo jadi lebih baik (16) boleh tau (16) jatuh (12) sekolah (9) korea (7) resensi (4) super junior (4) lyrics (3) indonesia (2) twilight (2) drama (1) eunhyuk (1) exo (1) jalanjalan (1)

Proud to be

Proud to be
Padmanaba

music? play~

Bittersweet Copyright © 2011 | Tema diseñado por: compartidisimo | Con la tecnología de: Blogger